PENAFSIRAN KONTEKSTUAL
I. Pendahuluan
Menafsir adalah kegiatan yang kita lakukan disaat kita mendengar pernyataan baik secara lisan maupun ketika kita membaca pernyataan tertulis dan kita berusaha untuk memahaminya, kita tengah mencoba melakukan penafsiran. Didalam Alkitab banyak hal yang kita mencoba untuk melakukan suatau peninjauan atau penfasiran yang dapat memberikan makna atau pesan yang sesungguhnya dari teksnya. Untuk itu dalam menafsir diperlukan suatu metode penafsiran untuk menafsirkan isi teks dalam Alkitab. Untuk itu dalam kesempatan kali ini, kita akan membahas mengenai metode penafsiran khususnya metode penafsiran kontekstual. Semoga sajian kali ini dapat menambah wawasan kita mengenai metode penafsiran, tekhususnya dalam Perjanjian Lama.
II. Pembahasan
2.1 Pengertian Kontekstual
Di dalam KBBI, kontekstual adalah suatu terjemahan yang didapatkan dengan menterjemahkan ungkapan yang sesuai dengan konteks tertentu, dan bukan semua keadaan (konteks) . Kata konteks berasal dari bahasa Latin yaitu kata “con” dan “textus” yang berarti “bersama-sama menjadi satu kesatuan” dan “tersusun atau terjalin”.
Jadi, secara Etimologi kontekstual adalah “yang terjalin atau tersusun menjadi satu kesatuan”. Maka konteks dapat diartikan sebagai keterkaitan suatu bagian teks dalam kesatuan atau keseluruhan teks. Dan juga, sebagaimana dipahami dalam ilmu menafsir Alkitab, konteks berarti keadaan atau situasi kemanusiaan dan kesejarahaan yang empiris diluar teks dan yang turut melatarbelakangi terbentuknya suatu teks serta ikut memperngaruhi maksud dari teks tersebut.
2.2 Latar Belakang Penafsiran Kontekstual
Pertama sekali muncul kata “kontekstualisasi” pada terbitan TEF yaitu Theological Education Fund (Dana Pendidikan Teologi) tahun 1972. TEF dimulai oleh International Missionary Council pada persidangannya di Ghana pada tahun 1957-1958 dan mendapat mandat pertama –“majulah!”-. Lalu pasa tahun1961 International Missionary Council bergabung dengan DGD (Dewan Gereja se-Dunia). Hasil gabungan itu terbentuklah Division of World Mission and Evangelism dari DGD, yang pada tahun 1965-1970 diberi mandat kedua –“memikirkan kembali”- dan tahun 1969 diberi mandat ketiga adalah -“memperbarui”-.
Tugas dari mandat ini untuk menolong jemaat-jemaat memperbarui pendidikan calon-calon pelayan Kristen dengan memberikan bantuan khusus sementara dan pelayan-pelayan konsultasi kepada lembaga-lembaga pendidikan teologi, dan yang menjadi tujuan utama dari TEF ini ialah agar Injil diungkapkan dan pelayanan dilakukan sebagai tanggapan dari:
1.Krisis iman yang meluas,
2.Masalah-masalah keadilan sosial dan pembangunan manusia,
3.Ketegangan antara situasi budaya dan agama setempat dan perabadan teknologis yang universal,
4.Suasana masyarakat bersifat anti wibawa, orang pun tidak lagi menerima Alkitab mempunyai kewibawaan,
5.Melalui kritik sejarah terdapat kontradiksi Alkitab yang menyebabkan orang sulit memutuskan pernyataan Alkitab yang berwibawa dan tidak, dan
6.Jarak antara teks kuno dan konteks modern yang menyebabkan orang mempertanyakan relevansi Alkitab.
Dengan sejarah yang telah disebutkan membuktikan bahwa kontekstualisasi berakar pada ketidakpuasan terhadap model-model pendidikan teologis yang tradisional. Kontekstualisasi mencakup segala sesuatu yang mencakup dunia ini, yang bersifat dinamis (fleksibel), mengakui adanya perubahan yang terjadi secara continu (terus menerus) dari setiap situasi kondisi manusia yang dapat membuka jalan bagi masa depan. Jadi, kontekstualisasi adalah refleksi yang tepat bagi setiap pribadi Kristen dalam menganggapi Injil yang sesungguhnyadi dalam kerangka berbagai konteks kehidupan, baik dalam konteks sosial, ekonomi, budaya, maupun agama. Sehingga untuk dapat memahami nats Alkitab yang berakar dalam kehidupan manusia, maka perlu diadakan penelusuran untuk hal itu yang dapat memberi informasi atau sumbangan mengenai aspek-aspek tertentu dalam Alkitab ecara lebih baik. Dari hal inilah maka muncul pendekatan-pendekatan dari aspek sosial, ekonomi, budaya, dan agama. Semua aspek pendekatan sangat berhubungan erat, maka semua yang hendak mengadakan pendekatan terhadap Perjanjian Lama dengan suatu pandangan realitas, haruslah mengkaji terlebih dahulu situasi sosial, ekonomi, budaya dan agama dimana dan waktu teks diangkatkan itu terjadi kemudian membandingkannya dengan konteks masa sekarang ini.
2.3 Langkah-langkah Penafsiran Kontekstual
Dalam penafsiran kontekstual terdapat langkah-langkah sebagai berikut.
Kita harus mengenal bagan dan susunan dari kitab yang akan kita tafsir.
Kita baca dengan teliti ayat atau ayat-ayat yang akan ditafsir.
Kita harus mengetahui konteks-konteks yang terjadi saat ayat atau ayat-ayat tersebut ditulis.
Temukan makna atau pesan Ilahi dalam ayat atau ayat-ayat tersebut.
Hubungkan makna atau pesan Ilahi dengan keadaan masa kini.
2.4 Hal-hal yang Perlu Diperhatikan
1. Kita perlu memahami konteks Perjanjian Lama agar kita mengerti kerugma atau pesan Ilahi.
2. Kita perlu memerhatikan pesan Ilahi dalam konteks aslinya, sebab teks-teks Alkitab itu tidak bisa diterapkan begitu saja ke konteks kehidupan kita sekarang.
3. Penafsir harus mempertimbangkan dan memperhatikan konteks teks (ayat-ayat) agar tafsiran yang akan disampaikan tidak berubah menjadi penyampaian pribadi.
4. Konteks menjadi tempat Firman Tuhan diberitakan tidak terbatas pada bidang-bidang kehidupan tertentu saja, misal agama atau kebudayaan saja akan tetapi, konteks mencakup seluruh bidang kehidupan manusia, yaitu agama, budaya, sosial, politik, ekonomi, dan sebagainya.
2.5 Model-model Penafsiran Kontekstual
Penafsiran kontekstual dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
2.5.1 Analisa Konteks Dekat
Analisa ini menunjuk bagian yang persis sebelum atau setelah ayat-ayat yang ingin ditafsir, yang dapat membantu penafsir menemukan tujuan dan maksud ayat atau ayat-ayat yang ingin ditafsir.
2.5.2 Analisa Konteks Jauh
Analisa Konteks Jauh menyelidiki konteks yang lebih jauh atau lebih luas dibandingkan konteks dekat. Analisis ini berperanan menemukan alur pemikiran, tujuan dan maksud ayat yang ingin ditafsir, bahkan isi seluruh kitab itu.
Kelebihan dan Kekurangan
Penafsiran memiliki kelebihan dan kekurangan, yaitu sebagai berikut.
Kelebihan
Mampu memahami teks dari konteks Alkitab dalam situasi aslinya dan berusaha untuk menerapkannya ke dalam situasi dan kondisi pada masa sekarang.
Penafsiran ini di bungkus oleh kenyataan sejarah seperti sosial, politik, budaya dan agama dari setiap konteks sejarah.
Penafsiran ini memiliki selfdetermation yaitu sikap menetapkan sendiri pandangan teologi tanpa dipengaruhi oleh refleksi teoologi atau budaya asing yang bertolak kepada kebenaran Firman Allah.
Kekurangan
Kami tidak menemukan dimana kekurangan penafsiran kontekstual ini dari buku yang telah kami baca.
Contoh Penafsiran Kontekstual
Ulangan 25: 1-3 yang mengenai hukuman cambuk. Hukum cambuk pada waktu itu adalah salah satu cara penegakan keadilan, yang intinya adalah penegakan keadilan dan sangat mengahargai kemanusiaan, hal ini sangat nyata dalam ayat 3, “Empat puluh kali harus orang itu dipukuli, jangan lebih, supaya jangan saudaramu menjadi rendah di matamu, apabila ia dipukuli lebih banyak lagi.” Hukum cambuk pada waktu itu jelas merupakan kebudayaan pada waktu itu untuk menegakkan keadilan. Mungkin dalam budaya pada waktu itu, hukuman itu melebihi empat puluh kali. Peraturan Ulangan membatasi jumlah pukulan supaya seseorang jangan merasa rendah di mata sesamanya. Kasih Allah terwujud dalam bentuk penegakan keadilan yang manusiawi. Itulah pesan teks ini, bukan hukuman cambuk tersebut yang berita utama melainkan kasih Allah di dalam penegakan keadilan tersebut.
Tokoh Penafsiran Kontekstual
Penafsir pada penafsiran konteksualisasi ialah penafsir yang mearuh perhatian kepada ajaran Alkitab tentang memenuhi kebutuhan dunia ini atau tentang perjuangan masa kini. Yang dijadikan contoh disini adalah Teologi Pembebasan, Teologi Hitam.
Teologi Pembebasan
Teologi pembebasan yang dibahas disini berasal dari Amerika Latin. Pendirinya mungkin Hugo Assaman atau Gustavo Gutierrez Moreno. Seorang tokoh dalam teologi pembebasan ini ialah Juan Luis Segundo (1925-1996) yang memiliki pendapat bahwa interpretasi Alkitab harus terus berubah karena situasi manusia terus berubah agar penafsiran tersebut mampu melihat pergumulan orang-orang tertindas. Teologi Pembebasan melihat kejahatan kapitalis yang terletak pada kuasa dan kekayaan.
Teologi Hitam
James H. Cone (1938-), pelopor Teologi Hitam, menaruh perhatian atas penderitaan orang kulit hitam, dan penindasan orang kulit putih atas kulit hitam. Mesias datang dengan tujuan menanggung segala penderitaan semua orang, termasuk orang kulit hitam. Jikalau ada seseorang tidak mengakui penderitaan orang kulit hitam, ini berarti dia tidak mengakui Kristus.
III. Kesimpulan
Kata konteks berasal dari bahasa Latin yaitu kata “con” dan “textus” yang berarti “bersama-sama menjadi satu kesatuan” dan “tersusun atau terjalin”. Jadi, secara Etimologi kontekstual adalah “yang terjalin atau tersusun menjadi satu kesatuan”. Maka konteks dapat diartikan sebagai keterkaitan suatu bagian teks dalam kesatuan atau keseluruhan teks. Dan juga, sebagaimana dipahami dalam ilmu menafsir Alkitab, konteks berarti keadaan atau situasi kemanusiaan dan kesejarahaan yang empiris diluar teks dan yang turut melatarbelakangi terbentuknya suatu teks serta ikut memperngaruhi maksud dari teks tersebut. Dalam Penafsiran Kontekstual terdapat langkah-langkah, hal-hal yang perlu diperhatikan, model-model, kelebihan dan kekurangan, contoh, dan contoh tokoh dalam penafsiran Kontekstual.
IV. Daftar Pustaka
....., KBBI, Jakarta: Balai Pustaka, 1988
Mawene, Marthinus Theodorus, Perjanjian Lama dan Teologi Kontekstual, Jakarta: BPK-GM, 2008
David J. Hesselgrave dan Edward Rommen, Kontekstualisasi Makana, Metode dan Model, Jakarta: BPK-GM, 2004
Tomala, Y., Teologi Kontekstual, Malang: Gandum Mas, 2001
Sanjaya, Indra, Penafsiran Alkitab dalam Gereja, Yogyakarta: KANISIUS, 2003
A. A. Sitompul dan Ulrich Beyer, Metode Penafsiran Alkitab, Jakarta: BPK-GM, 2009
Ludji, Barnabas, Pemahaman Dasar Perjanjian Lama, Bandung: Bina Media Informasi, 2009
Sutanto, Hasan, Hermeneutik: Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab, Malang: LITERATUR SAAT, 2007