HUKUMAN MATI
(Tinjauan Religionum Terhadap Hukuman Mati Dalam Perspektif Kristen – Islam Sebagai Cara Pandang Agama Kristen-Islam Terhadap Pemberlakuan Hukuman Mati di Indonesia)
I. Latar Belakang Masalah
Beberapa kejahatan begitu mengerikan sehingga banyak orang menuntut hukuman mati. Hampir semua masyarakat kuno mempraktekkan hukuman mati. Hukuman mati merupakan cara yang tepat untuk menghadapi penjahat-penjahat yang kejam. Bila anda melakukan kejahatan yang mengerikan, anda pantas menerima hukuman mengerikan juga. Hukuman mati menunjukkan bahwa masyarakat tidak akan mentolelir kejahatan seperti itu. Dalam suratnya kepada jemaat di Roma, Paulus mengatakan bahwa seorang penguasa” adalah abdi Allah dan menjalankan hukuman Allah kepada mereka yang melakukan kejahatan”. Pemimpin reformasi Martin Luther setuju dengan Paulus. Luther mengatakan Allah memberikan kuasa kepada negara untuk menghukum mereka yang bertindak salah. Orang tidak akan melakukan kejahatan serius bila mereka tahu akan mati untuk itu.
Hukuman mati akan mencegah para calon pembunuh atau teroris. Hukuman mati akan menghentikan kemungkinan para penjahat melakukan pelanggaran kembali. Hukuman mati akan melindungi masyarakat. Dalam berbagai kasus banyak pelaku kejahatan yang merupakan residivis yang terus berulang kali melakukan kejahatan karena ringannya hukuman. Seringkali penolakan hukuman mati hanya didasarkan pada sisi kemanusiaan terhadap pelaku tanpa melihat sisi kemanusiaan dari korban sendiri,keluarga, kerabat ataupun masyarakat yang tergantung pada korban.
Di Indonesia sudah puluhan orang dieksekusi mati mengikuti sistem KUHP peninggalan kolonial Belanda. Bahkan selama Orde Baru korban yang dieksekusi sebagian besar merupakan narapidana politik.Walaupun amandemen kedua konstitusi UUD 45, pasal 28I ayat 1, menyebutkan: "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun", tapi peraturan perundang-undangan dibawahnya tetap mencantumkan ancaman hukuman mati. Kelompok pendukung hukuman mati beranggapan bahwa bukan hanya pembunuh saja yang punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Masyarakat luas juga punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Untuk menjaga hak hidup masyarakat, maka pelanggaran terhadap hak tersebut patut dihukum mati.
Persoalan hukum mati menjadi beban tersendiri dalam diplomasi di awal pemerintahan Jokowi. Penarikan duta besar sampai penghinaan utusan resmi pemerintahan disuatu negara menjadi polemik yang sekarang tidak hanya menjadi domain pemerintah, tetapi juga meluas kepada masyarakat pada umumnya ada yang mendukung ada juga yang menolak. Hukuman mati ini menjadi perdebatan yang dianggab menjadi hukuman luar biasa disemua Negara demokrasi yang hanya disediakan bagi pelanggar paling serius tetapi jarang diterapkan karena dianggab praktik pemerintah yang bermasalah secara manusiawi, secara hukum internasional, bahkan secara moral dan kepercayaan. Alasan bagi yang mendukung adalah atas nama kadaulatan hukum yang berlaku di Indonesia, kita setuju bahwasanya kita harus memerangi narkoba di Indonesia yang mengancam kehidupan generasi bangsa ini. Diplomasi Indonesia harus dipertontonkan ketegasanya atas nama kepentingan nasional yang didalamnya ada kedaulatan hukum yang kita pegang teguh ditengah kekacaubalauannya politik hukum sekalipun. Karena perdebatan tidaklah mampu meningkatkan status hubungan baik dua Negara, dan realisasi adalah hal wajar dalam diplomasi.
II. Pembahasan
2.1 Pengertian Hukum Secara Umum
Dalam KBBI dikatakan bahwa hukum adalah peraturan yang dibuat oleh suatu kekuasaan atau adat yang dianggap berlaku oleh dan untuk orang banyak. Dan menghukum berarti menjatuhkan hukuman, atau membiarkan orang menderita sakit sebagai balasan atas pelanggaran atas kejahatan yang telah diperbuatnya. Jadi dapat dikatakan bahwa hukuman mati adalah suatu keputusan dari pengadilan atau penguasa yang berwenang yang diberikan kepada orang yang melanggar Undang-undang yang menyebabkan seseorang itu kehilangan nyawanya atau mati, tidak bernyawa/berasa.
Munculnya perdebatan tentang hukuman mati ada dua kelompok besar yang bertentangan yaitu antara yang ingin menghapus hukuman mati dan kelompok yang mendukung penerapan hukuman mati. Bagi kalangan yang menolak, hukuman mati merupakan pembunuhan yang dilegalkan oleh Negara dan hal ini melanggar hak azasi manusia, karena hak hidup adalah hak dasar yang tidak bisa dikurangi dengan alasan apa pun (non-derogable right) oleh individu. Sedangkan kelompok yang mendukung, hukuman mati adalah salah satu bentuk hukuman yang masih dibutuhkan untuk membuat efek cegah dan mengurangi kejahatan-kejahatan yang tergolong besar atau luar biasa ditengah masyarakat.
2.2 Latar Belakang Hukuman Mati
Pemikiran dan pelaksanaan hukuman mati dilalui dengan tahapan peradaban manusia. Ketika peradaban manusia masih primitif, ketergantungan besar sekali dengan kekuatan alam, Dimana manusia itu hidup sudah mengenal hukum mati. Penjatuhan hukuman kepada kerabat yang melanggar hukum. Bila kerabat itu dianggab sebagai penyebab terganggunya alam, seperti pelanggaran, dalam berburu hewan, tidak menghormati dewa dan dalam upacara yang dinilai sakral. Penjatuhan hukuman mati pun dilakukan dengan di jemput di matahari, tidak diberi makan dan minum, dibenamkan di Laut, dibakar pada suatu tiang, pembuangan dan lain-lain. Penjatuhan pidana mati bukan lagi semata-mata untuk menjaga keseimbangan keadaan akibat murkanya Dewa tetapi juga ditimpakan kepada manusia yang dipandang sebagai penyebab timbulnya kerusakan dan malapetaka kepada orang lain. Nilai-nilai dan norma hukum yang hendak dilindungi juga bergeser dari pelanggaran hubungan dengan alam ke hubungan dengan pemimpin mereka yaitu Raja.
Dahulu di Aceh dikenal sistem pemidanaan yang menurut ukuran sekarang sangat kejam. Ketika masih zaman kesultanan, selain pidana mati terdapat istri yang berzinah dikenal juga dengan berupa pemotongan tangan bagi pencuri, dibunuh dengan lembing, disalib di pohon, dipotong anggota badan, ditumbuk kepalanya di Lesung. Ditanah Toraja umumnya di lakukan dengan pemenggalan kepala. Di Bugis, Makasar hukuman mati dilaksanakan dengan tusukan Tombak, pencekikan. Dalam tahapan selanjutnya, pelaksanaan hukuman mati di Indonesia yang berkaitan dengan hukum adat berangsur-angsur memudar. Hal ini disebabkan oleh adanya penetrasi kebudayaan Barat yang masuk dalam tata nilai budaya Indonesia. Penetrasi kebudayaan Barat, yang secara langsung mempengaruhi tata hukum Indonesia dalam masalah pidana mati yaitu oleh Kolonial Belanda. Pidana mati yang diatur dalam KUHP warisan Belanda ini hingga saat ini masih terus berlaku walaupun terdapat banyak pro dan kontra terhadap pelaksanaanya dewasa ini. Hukum merupakan rumusan pengetahuan, perbuatan-perbuatan manusia yang dibuat oleh pemerintah yang sah, bukan hanya berupa keputusan, baik peraturan-peraturan yang dirumuskan, maupun menurut kesadaran hukum kita melainkan juga pelaksanaannya sesuai dengan ideologi bangsa Indonesia.
2.3 Pelaksanaan Hukuman Mati
Sebagaimana yang telah dirumuskan dalam GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara) tahun 1993, hukum dilihat sebagai sarana yang mengarahkan, mendorong dan mengatur masyarakat yang terus mengembangkan dirinya, dan dalam fungsi untuk mencapai kesejahteraan manusia, dan konsekuensi bagi pelaksanaan dan penegakan hukum, secara konsisten. Meskipun dalam praktek hukuman mati banyak pendapat-pendapat yang pro dan kontra dengan pelaksanaannya, namun dalam kenyataannya secara Yuridis Formal pidana mati dibenarkan. RUU KUHP mengatur pidana mati pada pasal 80,81,82,83 yang menyatakan:
Pasal 80: Pidana mati dijatuhkan sebagai upaya akhir untuk mengayomi masyarakat.
Pasal 81:
1. Pidana mati dilaksanakan dengan menembak terpidana sampai mati oleh regu tembak.
2. Pidana mati sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 tidak dilaksanakan dimuka umum.
3. Pelaksanaan pidana mati terhadap wanita hamil atau orang yang sakit jiwa ditunda sampai wanita tersebut melahirkan atau orang yang sakit jiwa itu sembuh.
4. Pidana mati baru dapat dilaksanakan setelah permohonan grasi bagi terpidana ditolak oleh Presiden.
Pasal 82
1. Pelaksanaan pidana dapat ditunda dengan masa pencobaan 10 tahun jika:
a. Reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar
b. Terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki
c. Kedudukan terpidana dalam penyerahan tindak pidana tidak terlalu penting, dan
d. Ada alasan yang meringankan
2. Jika terpidana dalam masa pencobaan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun dengan keputusan menteri hukum dan perundang-undangan.
3. Jika terpidana selama dalam masa percobaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, maka pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.
Pasal 83: Jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 tahun bukan karena terpidana melarikan diri, maka pidan mati tersebut dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan keputusan menteri hukum dan perundang-undangan. Mengenai cara pelaksanaan pidana mati terdapat berbagai cara yang berbeda-beda antara Negara yang satu dengan Negara yang lainnya. Di Indonesia, sejak tahun 1964, yakni sejak berlakunya UU No.2/PnPs/1964 cara pelaksanaan pidana mati adalah dengan cara menembak si terpidana sampai mati oleh satu regu penembak yang ditentukan untuk itu. Sebelum dikeluarkannya penetapan presiden No 2 tahun 1964 tentang pelaksanaan pidana mati yang kemudian disahkan menjadi UU No. 2/PnPs/1964, di Indonesia pidana mati dilaksanakan dengan cara menggantung sampai mati di tiang gantngan oleh seorang Algojo yang ditunjukkan untuk itu, sebagaimana diatur dalam psl 11 KUHP. Namun sejak UU No 2/PnPs/1964 dikeluarkan maka ketentuan psl 11 tersebut tidak berlaku lagi. Tata cara pelaksanaan hukuman mati telah ditetapkan dalam UU No.2/PnPs/1964.
2.4 Pandangan Kristen Terhadap Hukuman Mati
Dalam hal ini Gereja hingga kini belum membuahkan hasil atau satu kesimpulan yang jelas tentang hukuman mati. Namun Katolik dengan jelas mengatakan dalam Katekismus universal gereja yang mendukung hak Negara menghukum mati orang. Namun aliran lain termasuk Gereja Protestan sendiri yang didalamnya terdapat juga sejumlah besar Teolog Kristiani. Dalam hal ini menunjukkan bahwasanya gereja juga belum jelas memberi respon terhadap praktek hukuman mati. Gereja tidak mendukung adanya hukuman mati, namun tidak melarangnya juga, gereja mempertahankan bahwa kuasa Negara yang sah berhak menjatuhkan hukuman mati dalam kasus yang amat berat.
2.4.1 Hukuman Mati dalam Alkitab
2.4.1.1 Perjanjian Lama
Perjanjian Lama menuliskan bahwa salah satu konsekuensi dari kejahatan adalah kematian. Kata yang digunakan untuk ini ialah וַמֶת ( Wamet ( , yang mana kata ini merupakan konsekuensi dari sebuah perbuatan jahat (Kej. 44:9), bermaksud jahat (1 Raj 1:52) atau membunuh (Ul.19:11), kata yang digunakan dalam Perjanjian Lama dalam penjatuhan hukuman, terkhusus mati biasanya dipakai kata “dibawa keluar ke dalam kematian” dalam bahasa Ibraninya digunakan kata וְיָמִת“Weyamot”(Hak:. 6:30: 1 Raj. 21:10), kata ini berasal dari kata dasar מוּת (Mot). Kata ini biasanya diartikan sebagai sebuah pernyataan penghukuman mati atau bisa dikatakan kata ini yang digunakan sebagai istilah hukuman mati dalam Perjanjian Baru, namun penggunaan kata dalam pengertian hukuman mati dalam peradilan dapat juga menggunakan istilah תָּמֻוּת“Tamut” (1 Sam. 14:44; 22:16; 2Raj 1:4, 16; Yer. 26:8).
2.4.1.2 Praktek Hukuman Mati Dalam Perjanjian Lama
Dalam Perjanjian Lama ada di jelaskan bahwa Israel juga menerima hukuman mati yaitu dengan cara di lempari batu. Orang yang menolak mengakui Allah sebagai sumber hidup dikeluarkan dari umat dan dihukum mati dengan dilempari batu ada penyebutan kata molekh kata itu mirip dengan kata Ibrani dimana diartikan dengan Raja dalam hal ini mungkin maksudnya Allah. .Kitab-kitab dalam Perjanjian Lama banyak menuliskan mengenai praktek hukuman mati dan hukuman itu dijatuhkan berdasarkan kesalahan-kesalahan yang dilakukannya. Dalam bagian ini akan dibahas beberapa kesalahan yang bila dilakukan akan mendatangkan hukuman mati kepada si pelaku dan biasanya hukuman itu dijatuhkan kepada kesalahan yang sangat berat dalam kehidupan masa itu.
• Pembunuhan
Dalam Perjanjian Lama selain didalam hukum taurat yang ke-6, larangan untuk membunuh juga ada dituliskan di kitab-kitab lain dalam PL, larangan adanya penumpahan darah didasarkan pada pemahaman tentang pengudusan darah sebagai lambang dari korban di Mezbah, sehingga agar hidup manusia itu di lindungi maka Allah akan menetapkan larangan terhadap tindakan pembunuhan yang dilakukan manusia (Kej.9:6). Oleh karena itu Allah memandang hina setiap pertumpahan darah yang dilakukan manusia terhadap sesamanya (membunuh). Misalnya dalam Bil 35: 30-31, dikatakan bahwa setiap orang yang telah membunuh maka ia haruslah dibunuh (dihukum mati), yang berarti disini bahwa harga dari sebuah kehidupan manusia sangat berharga sehingga cara menggantinya adalah dengan menggantikannya dengan kehidupan orang yang melakukan pembunuhan itu.
• Penyembahan Berhala (Ul. 17: 2-7)
Penyembahan berhala atau ilah-ilah lain juga merupakan kejahatan yang sangat berat dalam hukum Israel. Dalam ayat ini kita juga bias melihat bahwa hukuman dari orang yang menyembah berhala adalaha hukuman mati dengan cara dilempari baru di luar kota. Namun penjatuhan hukuman mati itu harus dibuktikan terlebih dahulu dengan kesaksian dua orang saksi, namun jika hanya ada satu saksi maka hukuman itu tidak dapat dilaksanakan.
• Saksi Palsu (Ul. 19: 15-21)
Cerita dalam Ul.19:15-21 ini memberikan kesan tentang saksi dusta itu merupakan ancaman yang sangat berat. Sulit menjelaskan tuduhan apa yang akan menyebabkan tertuduh kehilangan sesuatu yang dituntut penuntut, namun jika orang yang bersaksi itu hanya membual (berkata yang tidak ada sebenarnya), maka ia akan di tuntut dan dihukum sesuai dengan tuduhannya, sebagai contoh, seorang mengatakan bahwa ia telah membunuh seseorang, dan hukuman bagi pembunuh adalah hukum mati dan ternyata kesaksian itu palsu, maka orang yang bersaksi itu akan dihukum sesuai dengan tuntutannya yaitu pembunuhan yang hukumannya adalah hukum mati. Prinsip ini sah atau berlaku sejak zaman paling kuno dan barangkali pada zaman ketika bangsa Israel hidup nomaden sudah memegang prisip ini yaitu membalaskan dendam terhadap pelaku kejahatan.dalam konteks ini ada dikatakan mata ganti mata yakni dalam:
1. Pasal 196: jika seorang warga Negara merusakkan mata seorang bangsawan, maka matanya sendiri yang akan dicungkil.
2. Pasal 197: jika seorang warga Negara mematahkan tulang warga Negara yang lain maka, tulangnya juga akan dipatahkan.
3. Pasal 200: jika seorang warga Negara mencabut gigi sesamanya, maka, giginya sendiri akan di cabut.
Dari pemaparan diatas ternyata hukuman bersaksi dusta itu sangat berat hukumnya. Karena jika ketahuan bahwa kesaksiannya palsu maka hukuman mati itu akan dilimpahkan kepadanya. Bahkan bagaimana cara pencekikannya juga sudah ditentukan. “ orang laki-laki itu harus dilingkupi dengan tahi hewan sampai ketinggian lututnya, dan handuk yang halus diletakkan di dalam handuk yang kasar di ikatkan pada lehernya (agar tidak meninggalkan bekas luka karena hukuman itu menurut mereka dari Allah). Lalu seorang akan menarik handuk itu dan dari sisi yang berlawanan seorang lagi juga menarik handuk itu, sampai orang yang dihukum itu mati.” Kitab Misyna juga mengatakan pelemparan batu hanya dijatuhkan kepada seorang wanita yang sudah bertunangan dan melakukan zina.
2.4.1.3 Hukuman Mati Dalam Perjanjian Baru
2.4.1.3.1 Pengertian Hukuman Mati Dalam Perjanjian Baru
Kata άποθνήσκεινν (Apothnesein) dan τελευταυ(Teleutan) adalah kata pertama kali digunakan sebagai proses dari kematian (untuk menjadi mati, untuk mati, untuk kematian) dan kata θάνατος“Thanatos” (digunakan juga kata τελευτή “Teleute” dalam Mat. 5:15) yang artinya kematian (Ibr. 7:23) atau menjadi mati (Flp. 1:20). Kematian merupakan konsekuensi dan penghukuman oleh karena dosa. Dalam bahasa Yunani kata yang digunakan untuk mengartikan hukuman mati adalah ( Thanatou) “untuk membunuh”, “mengirim kepada kematian”, “ untuk menghukum mati” (Mat. 20:18: Kis 13: 27: 25:11, 25:26:31:28:18, 1Kor. 4:9:2 Kor. 1:9, Mark 10:33: Luk. 23:15,22) . Di dalam perjanjian baru pemerintahan roma atau negara roma banyak mempengaruhi karangan-karangan di dalam PB. Dalam hal ini kaisar merupakan pemimpin yang paling tinggi. Rasul Paulus menggunakan kiasan “penguasa menyandang pedang” (Rom 13: 4) dalam hal ini Kaisar menyandang pedang pendek sebagai tanda kuasanya menentukan hidup atau mati para bawahannya.
2.4.1.3.2 Praktek Hukuman Mati Dalam Perjanjian Baru
Dunia Perjanjian Baru merupakan dunia yang diperintah oleh pemerintahan Roma, sehingga hukum yang berlaku pada masa itu adalah hukum Romawi. Salah satu hukum Romawi ini adalah hukuman mati dan dalam cara pelaksanaannya yang paling sadis adalah dengan cara di Salib. Dalam kitab Perjanjian Baru kita dapat melihat bahwa Yesus Kristus merupakan salah satu dari korban Penyaliban yang terjadi berdasarkan hukum Romawi. Hukuman ini berasal dari bangsa Siro-Fenesa Tirus dan Sidon yang diadopsi oleh orang Romawi. Karena kejamnya hukuman itu hanya dijatuhkan atas budak-budak dan ank-anak negeri jajahan saja. Orang yang dihukum mati dalam Penyaliban biasanya mati karena demam yang dideritanya karena bekas pemakuan ditangan dan kakinya bahkan ditambah karena perubahan cuaca terik dan hujan karena mereka berjam-jam digantung bahkan sampai dua atau tiga hari lamanya. Bagi bangsa Yahudi, inilah hukuman yang paling dibenci mereka, karena hukum ini menggambarkan atau dianggab kutuk dari Allah pula. “terkutuklah orang yang digantung pada Kayu Salib” (Ul. 21: 23: Gal. 3: 13).
2.5 Pandangan Islam Terhadap Hukuman Mati
2.5.1 Teologi Islam Tentang Hukuman Mati
Secara tegas, hukum pidana Islam di Indonesia mengatur tentang hukuman mati. Tetapi, di Indonesia eksistensi hukuman mati masih menjadi perdebatan. Ada berpendapat bahwa hukuman mati bertentangan dengan hak azasi manusia, dan ada juga berpendangan bahwa hukuman mati manusia adalah demi kepentingan umum. Hukuman mati dalam hukum pidana Islam untuk melindungi agama,jiwa,harta, akal, dan keturunan yang merupakan karunia Allah SWT yang harus di lindungi, dimana pelanggarnya pantas di hukum mati. Dalam istilah bahasa Arab hukuman dikenal dengan kata Uqubah yang berarti siksa atau hukuman, yaitu hukuman atas perbuatan yang melanggar ketentuan Syar’I yang ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat. Menurut ‘Abd Al-Qadir ‘Kaidah hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat, karena adanya pelanggaran-pelanggaran atas ketentuan Syara’. Dalam hukum pidana Islam, hukuman mati merupakan bentuk hukuman maksimal yang memiliki dasar hukum yang kuat. Ini menunjukkan bahwa hukum Islam masih mempertahankan hukuman mati untuk tindak kejahatan tertentu dimana esensi penerapannya bertujuan untuk melindungi kepentingan individu dan masyarakat dari tindak kejahatan yang membahayakan sendi-sendi dasar kemanusiaan. dalam hukum Islam, hukuman mati bisa ditemukan dalam tiga bentuk pemidanaan, yaitu Qishash, Hudud,dan Ta,zir.
Dalam masalah Qishash, ancaman hukuman mati ditujukan bagi pelaku pembunuhan yang disengaja atau direncanakan. Dalam masalah Hudud, ancaman hukuman mati ditujukan bagi pelaku Zina Muhshan, sedangkan dalam masalah Ta,zir, ancaman hukuman mati ditujukan bagi pelaku kejahatan diluar Qishash dan Hudud yang oleh Negara (penguasa) dianggab sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup dan kemaslahatan masyarakat. Hukuman mati yang diberlakukan untuk kasus-kasus tertentu, semisal narkoba, terorisme dan korupsi, termasuk kategori hukum Ta,zir yaitu hukuman mati yang tidak diatur oleh al-Qur’an dan Sunnah, tapi diserahkan kepada Negara baik pelaksanaan ataupun tatacara eksekusinya. Adanya ancaman hukuman mati dalam Islam, menurut Barda Nawawi Arief, pada hakikatnya bukanlah sarana utama untuk mengatur, menertibkan, atau melindungi masyarakat, tetapi lebih merupakan jalan hukum terakhir, seperti halnya amputasi dalam kedokteran yang sebenarnya bukan obat utama, tetapi sebuah pengecualian sebagai sarana pengobatan terakhir. Oleh karena itu, ada kriteria-kriteria tertentu yang diatur dalam hukum Islam yang memungkinkan suatu tindakan kejahatan tersebut dapat dijatuhi hukuman mati.
• Zina Muhshan
Zina adalah hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan tanpa adanya ikatan perkawinan yang sah dan dilakukan dengan sadar serta tanpa adanya unsur Syubhat. Al-Quran menegaskan bahwasanya hukuman bagi yang berbuat Zina akan di hukum Rajam atau yang disebut dengan melempari penzina dengan batu sampai menemui ajalnya dan semua Ulama sepakat dengan keputusan itu dengan alasan bahwa jika Zina tidak diharamkan maka martabat manusia akan hilang karena tata aturan perkawinan dalam masyarakat akan rusak.
• Pembunuhan Sengaja
Hukuman pokok untuk pembunuhan sengaja disebut dengan Qishash dan Kifarat. Al-Qur’an menentukan bahwa “ Barangsiapa yang membunuh seorang Mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya dan mengutukinya serta menyediakan Azab yang besar baginya.
• Pelaku Murtad (Riddah)
Riddah artinya kembali dari sesuatu ke sesuatu yang lain. Landasan hukuman mati untuk orang murtad dijelaskan dalam hadist nabi SAW, bahwa tidak halal darah seorang Muslim kecuali orang yang membunuh jiwa sehinggaa karenanya ia harus dibunuh termasuk orang yang murtad setelah tadinya ia Islam. Maka dari itu orang yang murtad dalam Islam dikenakan ancaman hukuman mati.
Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa hukuman mati bukanlah pelanggaran hukum, karena penerapan hukuman mati ditegakkan dalam arti rangka melindungi lembaga-lembaga kehidupan. Karena hidup ini merupakan hak azasi bagi semua orang. Dan hukuman mati dalam tindak pidana Islam adalah untuk melindungi agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
2.6 Analisa Penyeminar
Dari apa yang telah dibahasa diatas, kita dapat meyimpulkan bahwasanya hukuman mati dalam umat Kristen tidaklah salah, maka undang-undang yang mengatur tentang hal itu juga tidak lah salah. Ketika orang-orang Farisi membawa kepada Yesus seorang wanita yang tertangkap basah sementara berzinah dan bertanya kepadaNya apakah wanita itu perlu dirajam, Yesus menjawab "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu" (Yohanes 8:7). Ini tidak boleh diartikan bahwa Yesus menolak hukuman mati dalam segala hal. Yesus hanya mengungkapkan kemunafikan orang-orang Farisi. Orang-orang Farisi ingin menjebak Yesus untuk melanggar Hukum Perjanjian Lama. mereka sama sekali tidak peduli dengan wanita yang akan dirajam itu (di mana laki-laki yang tertangkap basah dalam perzinahan?). Allah adalah yang menetapkan hukuman mati: “Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri” (Kejadian 9:6). Yesus akan mendukung hukuman mati dalam kasus-kasus lain. Yesus juga menunjukkan anugrah ketika hukuman mati seharusnya dijatuhkan (Yohanes 8:1-11). Karena allah memberikan kuasa itu kepada pemerintah.
Yang dimana esensi dari hukuman itu yang dipandang dalam iman Kristen adalah untuk menyatakan apa yang berkenan dihadapan allah. Artinya memang allah ingin menyatakan ketegasannya, kesempurnaan dan allah tidak suka bermain-main tentang pelanggaran manusia itu maka untuk itu hukum-hukum apapun bahkan hukuman mati sekalipun akan diberlakukan selama itu sesuai dari tujuan allah. Allah adalah yang menetapkan hukuman mati (Kej 9:6) yang disebut dengan Lex talionis, yaitu hukuman pembalasan. Namun hal itu telah digantikan oleh yesus dengan hukum kasih. Hanya tuhan sajalah yang berhak dalam menghakimi dengan alasan yang sangat sederhana yaitu, tidak seorang pun yang cukup baik untuk menghakimi orang lain. Dalam roma 13:1-5, paulus menegaskan dan mengakui kuasa dari pemerintah untuk menjatuhkan hukuman mati ketika itu dibutuhkan. Dan ia jelas mengatakan bahwa tidak ada pemimpin yang tidak berasal dari allah. Dan dalam hal ini kita bisa jelas melihat bahwa yesus sendiri juga merupakan korban dari hukuman mati meskipun kita bisa melihat tidak ada kesalahan yang di dapati dari dalam diri yesus itu, dan dia juga menunjukkan sikap ketaatannya kepada pemerintah (matius 27, markus 15, Lukas 23, yohanes 19). Jadi pada dasarnya kita kembali ke tempat di mana kita mulai.Ya, Allah mengijinkan hukuman mati.
Namun pada saat yang sama Allah tidak selalu menuntut hukuman mati. Kalau begitu bagaimana seharusnya pandangan orang Kristen terhadap hukuman mati? kita mesti mengingat bahwa Allah telah menetapkan hukuman mati dalam firmanNya, dan karena itu adalah sombong bagi kita untuk menganggap bahwa kita dapat menetapkan standar yang lebih tinggi dari Dia atau dapat lebih murah hati dari Allah. Allah memiliki standar yang paling tinggi dari semua makhluk karena Dia adalah sempurna adanya. Standar ini berlaku bukan hanya untuk kita namun juga untuk diriNya. Karena itu Dia mengasihi secara tak terbatas, dan Dia memiliki belas kasihan yang tak terbatas. Kita juga melihat bahwa murkaNya tanpa batas.
kita harus mengenali bahwa Allah telah memberi pemerintah otortias untuk menentukan kapan hukuman mati pantas dijatuhkan (Kejadian 9:6, Roma 13:1-7). Adalah tidak Alkitabiah mengklaim bahwa Allah menentang hukuman mati dalam segala hal. Orang Kristen tidak boleh bergembira ketika hukuman mati dilaksanakan, namun pada saat yang sama orang Kristen juga tidak sepantasnya melawan hak pemerintah untuk mengeksekusi pelaku-pelaku kejahatan yang paling keras.
Hukuman bagi siapa saja yang melanggar aturan dalam hukum Islam bersifat tegas dan adil untuk semua pihak. Hal itu menjadi wajar karena hukum Islam bersumber kepada Al-Qur’an sedangkan Al-Qur’an mengklaim dirinya sebagai wahyu Allah yang tidak pernah salah (maha benar Allah dengan segala firman-Nya) Vonis yang dikeluarkan oleh Mahkamah Islam melalui hakim didasarkan pada ayat-ayat Al-Qur’an, Hadist, dan hukum Islam yang sesuai dengan kedua sumber hukum yang utama tersebut. Maka vonis itu pada hakekatnya dari hadirat Allah SWT, yang prosesnya melalui hakim dengan seizin Allah, sebagaimana dalam Qur’an Surat 4 ayat 64 “Dan Kami tidak mengutus Rosul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah, Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiyaya dirinya sendiri datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah dan Rosulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha penerima Taubat dan Maha Penyayang”. Islam memandang bahwa hukuman mati merupakan bentuk hukuman maksimal yang memiliki dasar hukum yang kuat. Ini menunjukkan bahwa hukum Islam masih mempertahankan atau menyetujui diberlakukannya hukuman mati. hukuman mati untuk tindak kejahatan tertentu dimana esensi penerapannya bertujuan untuk melindungi kepentingan individu dan masyarakat dari tindak kejahatan yang membahayakan sendi-sendi dasar kemanusiaan. Maka dalam hal ini islam menyetujui hukuman mati dimana mahkamah islam melalui hakim yang menjatuhkan hukuman vonis.
Agama merupakan pegangan hidup bagi setiap manusia. Setiap manusia yang beragama pasti mendasarkan hidupnya pada aturan-aturan dalam agamanya. Peraturan tersebut diatur dalam kitab suci ataupun pendapat dari para agamawan agama juga memberikan perlindungan hak asasi bagi setiap umat manusia. Islam sebagai agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia mengenal adanya hukuman mati. Hukuman mati secara jelas diatur dalam kitab Al-qur’an. Hal ini diberlakukan untuk memberikan efek jera dan perlindungan. Tidak semua pelanggaran dalam Jinayat dikenakan hukuman mati, tetapi hanya pada perkara tertentu seperti Murtad, penghinanan terhadap nabi, zina, pembunuhan, pemerkosaan,dll. Agama kristen juga mengenal adanya hukuman mati. Agama Kristen. bersumberkan pada kitab injil baik Perjanjian Baru maupun Perjanjian Lama.
Dasar penjatuhan pidana biasanya adalah karena melanggar aturan-aturan Tuhan. Hukum Perjanjian Lama memerintahkan hukuman mati untuk berbagai perbuatan: pembunuhan, penculikan, hubungan seks dengan binatang, perzinahan, homoseksualitas, menjadi nabi palsu, pelacuran dan pemerkosaan dan berbagai kejahatan lainnya. Namun demikian, agama kristen seringkali memberi keringanan hukuman mati. Pada dasarnya agama kristen beranggapan bahwa semua dosa harus diganjar dengan hukuman mati. Jadi jelaslah dalam agama bahwa hukuman mati dapat diberlakukan pada hal-hal tertentu dan Tuhan memberikan otoritas kepada pemerintah untuk menerapkan hukuman mati. Agama memberikan jaminan terlindunginya hak orang lain dengan jalan mengurangi hak seseorang. Jika dikaitkan dengan sila ke-2 Pancasila “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” dan “hak hidup” setiap manusia sebagaimana termaktub dalam Pasal 28 A dan Pasal 28 I UUD 1945, pelaksanaan hukuman mati dianggap telah merampas hak hidup dan dari sisi kemanusiaannya dianggap tidak adil, karena telah merampas hak hidup seseorang yang oleh konstitusi jelas-jelas disebutkan bahwa hak hidup seseorang itu tidak dapat dan tidak boleh dirampas ataupun dikurangi dalam keadaan apapun. Namun, hukuman mati tetap dilaksanakan guna melindungi hak-hak kemanusiaan orang lain yang terpenting adalah untuk kebaikan dan kemaslahatan bersama. Maka ketika diperhadapkan dengan hukuman mati yang telah dilaksanakan di Negara Indonesia bagi 6 pengedar narkoba pada tanggal 18 Januari 2015 untuk gelombang yang pertama, dalam hal ini pemerintah Indonesia Jokowi yang telah menetapkan hukuman mati sebagai hukum klimaks atas pengedar narkoba tidaklah dianggab salah karena hal itu telah dipertimbangkan dalam berbagai tahap dan keputusan yang diambil bukanlah wewenag dari dirinya sendiri melainkan keputusan dari beberapa hal yang dipertimbangkan.
III. Kesimpulan
Tujuan dari hukuman itu ialah berusaha memulihkan keadaan damai yang terlukai oleh kejahatan. Maka ketika hukuman mati diberlakukan tujuannya ialah untuk menjaga ketertipan kehidupan manusia di dunia sehingga tercipta keteraturan dan manusia tidak bertindak dengan sesuka hati, dimana ketika manusia tau bahwa ia akan mati karna perbuatan itu maka manusia akan berfikir dua kali dalam melakukan pelanggaran. Dan untuk menyatakan apa yang berkenan kepada Allah. Dan dalam hal ini penyeminar memandang bahwa pemerintah hanya menjalankan hukum perundang-undangan di Negara ini. Maka penyeminar menyimpulkan bahwa hukuman mati tidak lah salah dan peraturan perundang-undangan mengenai hukuman matipun tidaklah salah. Karena kuasa itu telah diberikan Allah kepada pemerintah (Yoh 19:10) dan kita meyakini bahwa pemerintah adalah pilihan Allah.
IV. Daftar Pustaka
ABD, Tijani, Kadir Hamid, Pemikiran Politik Dalam AL-QURAN, Jakarta: Gema Insani Press,2001
Al-Andalusi, Ibn Hazm, Risalah Cinta:Kitab Klasik Legendaris Tentang Seni Mencintai, Bandung: IKAPI, 2009
Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya, 1996
Barclay, William, Pemahaman Alkitab Setiap Hari Yohannes PS 8—21, Jakarta: BPK-GM, 1996
Bavinck, J.H., Sejarah Kerajaan Allah 2, Jakarta: BPK-GM, 2007
Bergant, Dianne & Robert J. Karris, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama,
Botterweck, G. Johannes, Theological Dictionary of The Old Testament Vol. VIII, Michigan: Grand Rapids, 1997
Caims, U.J., Tafsiran Alkitab Ulangan 2: 12-13, Jakarta: BPK-GM, 1986
End, Van den, Tafsiran Alkitab Surat Roma, Jakarta: BPK-GM, 2003
Guthrie, Donald, Dkk., Tafsiran Alkitab Masa Kini Vol.I Kejadian-Ester, Yogyakarta: YKBK/OMF, 2005
Hatta, Muhammad, “Perdebatan Hukuman Mati di Indonesia: Suatu Kajian Perbandingan Hukum Islam dengan Hukum Pidana Indonesia” dalam MIQOT: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, Medan: IAIN Press, 2012
Kittel, Gerhard (ed), Theological Dictionary Of The New Tastement Vol III, Michigan: Grand Rapids,1965
Kompas, “Hukuman Mati Diplomasi Indonesia” tanggal 25 Februari 2015
Lambe-Sangka, Hermin, Firman Hidup 67, Jakarta: BPK-GM, 2008
Nababan, S.A.E., Panggilan Kristen Dalam Pembaharuan Masyarakat.(Laporan Konferensi Nasional Gereja dan Masyarakat, Bandung: P.D Grafika Unit II, 1968
Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1984
R., Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya, Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politeia,1976
Setiardja, A. Gunawan, Dialektika Hukum dan Moral Pembangunan Masyarakat Indonesia, Jakarta: BPK-GM, 1990
Simon dan Christoper Danes, Masalah-masalah Moral Sosial Aktual Dalam Perspektif Iman Kristen, Yogyakarta: Kanisius, 2000
Tarigan, Jakobus, Religiositas, Agama dan Gereja Katolik, Jakarta: Grasindo,
Yewangoe ,A.A., Iman, Agama dan Masyarakat Dalam Negara Pancasila, Jakarta: BPK-GM, 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar