ANARKISME
(Suatu Tinjauan Teologi Religionum Anarkisme dari Perspektif Kristen dan Islam serta Implikasinya dalam Menyerang Kapitalisme)
I. Latar Belakang Masalah
Manusia yang hidup dalam sebuah tatanan masyarakat yang kompleks, tidak akan pernah merasakan kedamaian. Dengan nafsu dan hasrat untuk mencari kebahagiaan, kadang manusia tidak lepas dari sikap anarkis, mengorbankan kepentingan orang lain, dan semangat untuk berkuasa. Dalam sejarahnya, para anarkis dalam berbagai gerakannya kerap kali menggunakan kekerasan sebagai metode yang cukup ampuh dalam memperjuangkan ide-idenya. Anarkisme akan selalu ada dalam sejarah peradaban manusia. Anarkisme berwujud kekerasan fisik, mental, kultural, struktutaral, atau yang lainnya. Bahkan seorang filsuf besar seperti Socrates harus mendapatkan resikonya ketika berbeda dengan orang-orang yang hidup sezaman dengannya.
Anarkisme bukan saja dalam ranah agama, tetapi juga dalam hal yang lain seperti dalam perdagangan yang disebut kapitalisme. Kapitalisme selalu menghantui masyarakat kecil yang mengancam dengan kelaparan dan kemiskinan, bahkan untuk memuluskan jalan kapital para pedagang tidak segan-segan untuk menjadikan buruh-buruh mereka sebagai budak dan diberi upah yang kecil. Sekarang ini, kapitalisme sudah berubah bentuk, lebih elegan sehingga masyarakat lebih tergiur akan janji-janji kemakmuran, kedamaian, kesejahteraan, yang ditawarkan oleh kapitalisme itu. Kapitalisme itu berwujud kapitalisme global, dimana menyerang dari berbagai sisi.
Pada zaman ini penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusian semakin berkurang di mana manusia sering di identikkan dengan barang yang tidak berharga dan dapat di perjualbelikan. Nafas dan kehidupan manusia seolah tidak berharga lagi. Banyaknya rakyat miskin juga di Indonesia juga adalah salah satu yang real masalah kemanusiaan. Agama-agama di Indonesia khususnya Islam dan Kristen mau tidak mau harus menanggapi secara bersama masalah-masalah yang ada di Indonesia karena setiap agama mengangkat harkat dan martabat manusia.
Di zaman sekarang ini, kata anarkis sangatlah mudah dan sering diucapkan oleh berbagai individu maupun komunitas masyarakat dimanapun ia berada. Menurut asumsi dasar publik, teori ini erat kaitannya dengan tindak kekerasan yang terjadi dalam sosial kemasyarakatan. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, apakah teori ini memang teori mengenai kekerasan ? inilah yang kemudian menarik untuk kita bahas mengenai substansi awal dari kemunculan teori tersebut.
II. Pembahasan
2.1. Terminologi Anarkisme
Teori anarkisme yaitu teori yang seolah-olah kehilangan eksistensi dan substansi awal dari teori tersebut. Anarkisme berasal dari kata dasar "anarki" dengan imbuhan -isme. Kata anarki merupakan kata serapan dari anarchy (bahasa Inggris) atau anarchie (Belanda/Jerman/Prancis), yang berakar dari kata bahasa Yunani, anarchos/anarchein. Ini merupakan kata bentukan a- (tidak/tanpa/nihil/negasi) yang disisipi /n/ dengan archos/archein (pemerintah/kekuasaan atau pihak yang menerapkan kontrol dan otoritas - secara koersif, represif, termasuk perbudakan dan tirani); maka, anarchos/anarchein berarti "tanpa pemerintahan" atau "pengelolaan dan koordinasi tanpa hubungan memerintah dan diperintah, menguasai dan dikuasai, mengepalai dan dikepalai, mengendalikan dan dikendalikan, dan lain sebagainya". Bentuk kata "anarkis" berarti orang yang mempercayai dan menganut anarki, sedangkan akhiran -isme sendiri berarti paham/ajaran/ideologi.
Meski kata-kata Yunani anarchos dan anarchia seringkali diartikan “tidak memiliki pemerintah” atau “ada tanpa pemerintah”, seperti yang dapat dilihat, arti orisinil anarkisme yang tepat bukanlah sekedar “tidak ada pemerintah”. “Anarki” berarti “tanpa suatu peraturan” atau lebih umum lagi, “tanpa kekuasaan”, dan dalam pemahaman inilah kaum anarkis terus menggunakan kata ini. Contohnya, kita ketahui Kropotkin berpendapat bahwa anarkisme “menyerang bukan hanya kapital namun juga sumber-sumber utama kekuatan kapitalisme: hukum, kekuasaan, dan negara”. Bagi kaum anarkis, anarki berarti “bukannya tidak memerlukan tatanan, seperti yang dipikirkan pada umumnya, namun suatu ketiadaan peraturan”. Dan kemudian David Weick menyimpulkan dengan sangat baik:
“Anarkisme dapat dipahami sebagai pemikiran umum mengenai sosial dan politik yang mengekpresikan pengingkaran terhadap semua kekuasaan, kedaulatan, dominasi, dan divisi yang hierarkis, serta merupakan sebuah kehendak untuk menghancurkannya Oleh karena itu anarkisme lebih dari sekedar anti negara merupakan focus sentral yang tepat dari kritik kaum anarkis. ”
Dari berbagai selisih paham antar anarkis dalam mendefinisikan suatu ide kekerasan sebagai sebuah metode, kekerasan tetaplah bukan merupakan suatu ide eksklusif milik anarkisme, sehingga anarkisme tidak bisa dikonotasikan sebagai kekerasan, seperti makna tentang anarkisme yang banyak dikutip oleh berbagai media di Indonesia yang berarti sebagai sebuah aksi kekerasan. Karena bagaimanapun kekerasan merupakan suatu pola tingkah laku alamiah manusia yang bisa dilakukan oleh siapa saja dari kalangan apapun.
2.2. Sejarah Perkembangan Paham Anarkisme
Dalam sejarahnya, para anarkis dalam berbagai gerakannya kerap kali menggunakan kekerasan sebagai metode yang cukup ampuh dalam memperjuangkan ide-idenya, seperti para anarkis yang terlibat dalam kelompok Nihilis di Rusia era Tzar, Leon Czolgosz, grup N17 di Yunani. Yang sangat sarat akan penggunaan kekerasan dalam sebuah metode gerakan. Penggunaan kekerasan dalam anarkisme sangat berkaitan erat dengan metode propaganda by the deed, yaitu metode gerakan dengan menggunakan aksi langsung (perbuatan yang nyata) sebagai jalan yang ditempuh, yang berarti juga melegalkan pengrusakan, kekerasan, maupun penyerangan. Selama hal tersebut ditujukan untuk menyerang kapitalisme ataupun negara.
Namun demikian, tidak sedikit juga dari para anarkis yang tidak sepakat untuk menjadikan kekerasan sebagai suatu jalan yang harus ditempuh. Dalam bukunya yang berjudul what is communist anarchist Alexander Berkman mengatakan bahwa “Anarkisme bukan Bom, ketidakteraturan atau kekacauan. Bukan perampokan dan pembunuhan. Bukan pula sebuah perang di antara yang sedikit melawan semua. Bukan berarti kembali kekehidupan barbarisme atau kondisi yang liar dari manusia”.
Berikut ini empat contoh keyakinan kaum anarkis:
1. Anarkisme adalah sebuah sistem sosialis tanpa pemerintahan. Ia dimulai di antara manusia, dan akan mempertahankan vitalitas dan kreativitasnya selama merupakan pergerakan dari manusia (Peter Kropotkin).
2. Penghapusan eksploitasi dan penindasan manusia hanya bisa dilakukan lewat penghapusan dari kapitalisme yang rakus dan pemerintahan yang menindas (Errico Malatesta).
3. Kebebasan tanpa sosialisme adalah ketidakadilan, dan sosialisme tanpa kebebasan adalah perbudakan dan kebrutalan (Mikhail Bakunin).
4. Kami tidak perlu merangkul dan menggantungkan hidup kepada pengusaha kaya sebab ujungnya mereka untung dan kami buntung. Tanpa mereka, kami tetap bisa mengorganisasikan pertunjukan, acara, demonstrasi, mempublikasikan buku dan majalah, menerbitkan rekaman, mendistribusikan literatur dan semua produk kami, mengadakan boikot, dan berpartisipasi dalam aktivitas politik. Dan kami dapat melakukan semua itu dengan baik (O'Hara).
Namun, yang terjadi saat ini adalah bahwa teori anarkisme ini sendiri menjadi teori yang dipropaganda oleh sebagian golongan untuk kemudian menjadi teori yang dihitamkan. Artinya, kalau kita lihat konteks awal mula dari timbulnya teori anarkisme ini sendiri, dia mengambil filsafat dari Socrates, yaitu selalu mengkritisi apa yang kemudian menjadi segala bentuk sistem yang yang dikeluarkan oleh pemerintahan. Inilah yang kemudian membuat kebanyakan dari pihak pemerintah-pemerintah disetiap negara membuat propaganda bahwa anarkisme adalah perbuatan criminal atau yang berbau kekerasan. Jika kita lihat dari konteks awal dimunculkannya teori anarkis sendiri, bisa kita lihat bahwa kehadirannya adalah sebagai pihak penengah dari adanya teori liberalis dan sosialis. Seperti yang pernah dikatakan oleh Pter Kropotkin bahwa kebebasan tanpa sosialisme adalah ketidakadilan, dan sosialisme tanpa kebebasan adalah perbudakan dan kebrutalan. Namun, terjadi beberapa kritikan yang dilontarkan para intelektual kepada teori anarkisme itu sendiri, Kritik biasanya dilontarkan sekitar permasalahan idealisme anarkisme yang mustahil dapat diterapkan di dunia nyata, seperti apa yang banyak dipecaya oleh para anarkis mengenai ajaran bahwa manusia pada dasarnya baik dan bisa menggalang solidaritas kemanusiaan untuk kesejahteraan manusia tanpa penindasan oleh sebagiannya yang hal tersebut banyak dibantah oleh para ekonom. Dan juga mengenai ajaran bahwa setiap manusia lahir bebas setara yang juga dibantah oleh para pakar sosiolog.
Lajur melekat dalam pikiran bawah sadar kita tentang anarkisme karena dalam anarkisme terkandung semangat revolusi pembebasan. Secara historis, anarkisme tidaklah tunggal. Sebaliknya, anarkisme pernah menjadi pendorong perubahan sosial menuju masyarakat yang egaliter dan demokratis, terbebas dari belenggu otoritarianisme. Tidak banyak orang yang berfikir bahwa gerakan anti globalisasi yang semarak akhir-akhir ini, juga merupakan wajah dari anarkisme. Dengan demikian jelas, disamping “citra baku” anarkisme yang negative, jauh lebih esensial di dalamnya terkandung energy pembelaan yang luar biasa. Anarkisme juga mengatakan kesempitan cara pandang kebangsaan. Internasionalisme belum sepenuhnya menjadi bagian mentalitas bangsa. Ada satu dua indikasi bahwa anarkisme massa berkembang menjadi bagian dari kehidupan kita indikasi pertama ialah maraknya kejahatan public, dan yang kedua ialah hadirnya mentalitas apa yang disebut dengan “tiranisme elit politik”.
Proses konsolidasi demokrasi di Indonesia juga tidak berjalan dengan mulus, terutama di tingkat lokal, anarkisme massa pun muncul ke permukaan dan menjadi ancaman paling serius bagi penciptaan demokrasi yang mapan. Lay mengungkapkan bahwa ancaman terbesar bagi demokrasi dan peradaban masa depan Indonesia adalah pelembagaan kekerasan atau apa yang disebut dengan “counsolidated anarchy” anarki yang dikonsolidasikan. Jika anarkisme dan kekerasan politik ini tidak dikelola dengan baik dapat dipastikan bahwa demokratisasi di tingkat local akan berada dalam suasana yang mengkhawatirkan dan upaya-upaya untuk membangun demokrasi yang mapan dan stabil akan terhambat. Pembangunan budaya bangsa harus diarahkan pada satu tujuan yang menjadi cita-cita nasional. Bagi bangsa Indonesia, Pancasila adalah jati diri yang harus dituju dalam proses pembangunan budaya bangsa, yaitu tatanan masyarakat bangsa yang religius, apresiatif terhadap nilai kemanusiaan, nasionalis, demokratis, adil dan makmur. Namun dampak dari berkembangnya liberalisme, individualism, di Indonesia berkembang pula materialism, hedonism, dan pragmatism sehingga toleransipun terkikis bahkan di beberapa tempat hampir punah. Maka tak heran dalam dekade terakhir berkembang anarkisme yang di beberapa daerah terjadi konflik yang menelan banyak korban.
2.3. Pengertian Kapitalisme
Secara umum, teori Kapitalis bercirikan individu yang menjadi pemilik bagi apa yang dihasilkannya, Orang lain tidak punya hak. Ia berhak untuk memonopoli semua alat produk yang dapat dicapainya dengan usahanya sendiri, berhak untuk tidak mengeluarkannya, kecuali dengan jalan yang memberi keuntungan padanya.Teori tersebut bertitik tolak pada egoisme, yang hanya cinta pada diri sendiri. Apabila ditinjau dari sudut ekonomi, Bukan dari sudut moral, bahwa salah satu pembawaan dari teori kapitalis, ialah rusaknya keseimbangan dalam pembagian kekayaan diantara individu-individu dan tertumpuknya alat-alat produksi ditangan satu kelompok yang merupakan satu kelas yang paling mewah hidupnya dan paling unggul. Masyarakat kapitalis praktis menjadi dua kelas yakni kelas hartawan dan miskin. Kelas hartawan menguasai sumber-sumber kekayaan dan bertindak sekehendak hatinya, serta tidak mempergunakannya kecuali untuk kepentingan pribadinya. Sehingga kepentingan masyarakat dikorbankan demi untuk menambah kekayaan. Maka orang-orang miskin tidak lagi punya kesempatan untuk memperoleh sumber-sumber kekayaan kecuali hanya untuk memperoleh kebutuhannya, demi kelanjutan hidup. Kapitalisme juga telah melahirkan dua anak kandung yang kejam sekali yaitu imperialism dan kolonialisme.
Suatu hal yang pasti terjadi dalam sistem kapitalis adalah lahirnya kecenderungan yang keras dikalangan masyarakat untuk mengumpulkan kekayaan dan tidak mengelurkannya kecuali pada jalan yang mendatangkan keuntungan besar bagi dirinya.Bagi kapitalistik, tak ada perbedaan yang prinsipil antara “Jual Beli” dan “Riba”.Kedunya tidak saja bercampur aduk dalam sistem itu, tetapi berjalin dalam transaksi perdagangan. Masing-masing saling membutuhkan satu sama lain. Perdagangannya tidak mungkin mendapat kemajuan kecuali dengan Riba. Jika tidak karena riba niscaya runtuhlah sistem kapitalis. Dengan ungkapan senada terdapat banyak tulisan mengenai “kontradiksi budaya kapitalisme” yang mengatakan bahwa kemajuan kapitalisme pada akhirnya akan membawa kehancuran bagi dirinya sendiri karena menghasilkan norma-norma yang bertentangan dengan norma-norma yang diperlakukan agar pasar dapat berjalan dengan baik. penganut paham ini yang paling terkenal mungkin ialah joseph Schumpeter. Dalam bukunya capitalism, socialism, and democracy, ia mengatakan bahwa kapitalisme pada gilirannya cenderung menghasilkan kelas elite yang menentang kekuatan-kekuatan yang telah memungkinkan mereka mencapai tingkat kehidupan seperti yang telah mereka nikmati kini yang pada akhirnya kelas elit ini akan mengubah ekonomi pasar menjadi ekonomi sosialis. Tetapi disisi lain kapitalisme begitu dinamis sehingga tiada henti memecah-mecah masyarakat melalui penciutan.
2.4. Tinjauan Teologi Reliogiunum Anarkisme Dalam Perspektif Islam-Kristen Dalam Memerangi Kapitalisme
Pada zaman ini penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusian semakin berkurang di mana manusia sering di identikkan dengan barang yang tidak berharga dan dapat di perjualbelikan. Nafas dan kehidupan manusia seolah tidak berharga lagi. Banyaknya rakyat miskin juga di Indonesia juga adalah salah satu yang real masalah kemanusiaan. Agama-agama di Indonesia khususnya Islam dan Kristen mau tidak mau harus menanggapi secara bersama masalah-masalah yang ada di Indonesia karena setiap agama mengangkat harkat dan martabat manusia. Agama Islam yang merupakan agama yang sangat menekankan perhatian kepada manusia yang dimana Islam tidak hanya mengajarkan ajaran-ajaran komprehensif dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum agama, dogma dan etika tetapi juga mengajarkan masalah yang berkaitan dengan hubungan manusia dan masalah keduniaan.
Namun harus diakui dalam realitasnya agama-agama melakukan atau bertentangan dengan hakekatnya. Tidak jarang terjadi konflik antara satu agama dengan agama lain yang mengarah kepada suasana yang tidak harmonis dan berujung kepada kekerasan. Kekerasan ini akan menghasilkan buah dari harkat dan martabat manusia. Agama tidak lagi memberikan kesejahteraan kepada manusia namun memberi ketegangan dan kekuatan. Konflik yang mengatasnamakan agama menjadi merendahkan manusia. Pelaksanaan fungsi hakiki agama banyak tergantung terhadap bagaimana agama-agama menjaga dan mempertahankan martabat manusia. Agama Islam mengakui bahwa hak azasi manusia adalah anugerah Allah, dalam arti bahwa ekspresi kebebasan manusia tidak terlepas dari ketentuan Allah. Agama Islam sangat menghargai kebebasan hati nurani manusia, karena pemasungan rohani merupakan tindakan mencabut kemanusiaan seseorang. Pada permulaan kedatangannnya, agama Islam menjadi kekuatan revolusioner di Mekkah. Nabi sebagai utusan Allah tampil bagi kaum miskin dan tertindas di Mekkah, termasuk budak. Tidak hanya mengemansipasi para budak untuk sederajat dengan kaum Muslim lainnya. Kedatangan nabi pada masa itu merupakan ancaman bagi para saudagar kaya yang menyombongkan diri dan mabuk dengan kekuasaan dan tidak menghargai fakir miskin.
Pada saat krisis kemanusiaan, Yesus sang Mesias datang membawa pembaharuan. Yesus merubuhkan tembok yang selama ini pemisah kudus dan yang tidak kudus dalam kehidupan sosial Yahudi. Yesus tidak melihat keterpisahan dari suku atau bangsa melainkan dari pribadi manusia itu sendiri. Dalam pelayanannya Yesus tidak membedakan golongan Yesus hadir bagi siapa saja yang membutuhkannya (universal), (Yoh. 4:9). Kehadiran Yesus bagi manusia menjadi teladan manusia dalam memperhatikan sesamanya. Karl Max berpendapat masalah kapitalisme adalah komunisme yang akan menghapus upah dan kepemilikan pribadi juga mengantarkan masyarakat yang sama tanpa kelas. Ia menyerukan pesan moral ketika agama hanya melihat sisi rohani saja tanpa melihat sisi kemanusiaan karena manusia dilibatkan dalam proses produksi, hubungan kerja dan hubungan milik, atau dengan kata lain manusia harus mampu menghasilkan bagi dirinya sendiri.
Guiterrez mendasarkan pembebasannya dalam tiga tatanan, yaitu:
1. Pembebasan sosial di mana manusia haruslah dibebaskan dari struktur yang memperbudak dengan melibatkan rakyat yang tertindas yang disebutnya dengan perjuangan dari bawah atau dari rakyat.
2. Pembebasan dari kekuatan nasib, karena kemiskinan bagi Guiterrez bukanlah nasib sehingga manusia menerimanya dengan lapang dada namun penyebabnya adalah kurangnya sarana yang layak bagi kemanusiaan.
3. Pembebasan dari kesalahan dan dosa pribadi yang berarti ketidakadilan dan penindasan berasal dari orang yang melakukannya, maka haruslah dibebaskan, Kristus menyelamatkan manusia dari dosa dengan artian bahwa manusia mampu hidup dalam kesatuan dengan Allah.
Kerukunan bangsa Indonesia seperti yang dicita-citakan oleh Pancasila dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika sedang menjadi krisis. Kemajemukan bangsa yang seharusnya menjadi aset kekayaan yang menyatukan bangsa menjadi sebuah tantangan yang dapat merusak tatanan bangsa, disadari atau tidak disadari penganut agama yang satu dengan agama yang lain saling mencurigai sesamanya seperti ada sebuah tembok yang memisahkan agama yang satu dengan yang lainnya, hal itu terlihat dari sikap egoisme dan superior yang terdapat dalam diri umat beragama. Untuk membangun Indonesia secara keseluruhan maka yang pertama sekali yang perlu dibangun ialah manusianya yang bertujuan untuk kesejahteraan seluruh masyarakat demi terciptanya keadilan sosial dan masyarakat. Sebagai umat beragama, peran agama Kristen mengasihi Allah dan mengasihi sesama manusia dalam artian memperlakukan manusia sebagai manusia seperti dalam Filemon 1:8-21 yang di mana Filemon menerima Onesimus bukan lagi sebagai budak melainkan sebagai saudara seiman. Maka dalam hal inilah dalam situasi buruk yang terjadi di Indonesia, agama Kristen harus peka terhadap konteks di mana firman Allah harus membebaskan, menyelamatkan, dan mempersatukan umat-Nya dan dalam kasih-Nya terwujud.
Kekerasan adalah perbuatan sekelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain, atau kerusakan fisik atau barang orang lain. Kekerasan juga dapat didefinisikan sebagai usaha individu atau sekelompok untuk melakukan kehendaknya terhadap orang lain melalui cara-cara non verbal atau verbal yang melukai psikologi atau fisik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kekerasan itu adalah tindakan yang bertentangan dengan kodrat manusia yang sebenarnya sebagai makhluk sosial karena kekerasan menyentuh realitas kehadiran manusia dalam keutuhannya, sehingga dalam hal ini agama dijadikan untuk memaksakan kehendak dan ideology sehingga terjadi kekerasan dan pemaksaan. Dalam hal ini terlihat bahwa agama kehilangan makna yang sebenarnya. Menurut C. A. J. Coady mengatakan bahwa kekerasan adalah ada dalam organisasi dalam kontrol masyarakat. Kekerasan memberikan aksi ketidakadilan atau ketidaksamaan dalam masyarakat, berbicara mengenai kekerasan selalu ada subjek yang melakukan kekerasan dan terdapat objek yang menerima kekerasan. Sebuah pembunuhan di jalan dapat dikatakan sebagai kekerasan, akan tetapi sebuah eksekusi (hukuman mati) bukanlah kekerasan. Kekerasan adalah akibat dari aksi yang ilegal. Kekerasan memungkinkan terjadinya luka, dukacita, sakit atau bahkan kematian, kekerasan juga bergantung kepada ideologi, politik, agama, posisi pemikiran dalam masyarakat.
Agama dan kekerasan adalah dua hal yang berbeda dan bertolakbelakang ibarat terang dan gelap, tak bisa dipungkiri bilamana agama muncul kekerasan pun akan segera muncul. Namun kekerasan dan kelembutan disisi lain adalah dua pola di antara kehidupan manusia yang bergerak. Biasanya sering dilupakan di antara kedua sikap ini masih ada sikap yang ketiga yaitu dengan tidak meninggalkan sikap lembut tetapi sikap naïf dan pasif harus diganti dengan sikap yang menuntut kebebasan dan kehormatan. Salah satu ucapan Yesus mengenai ajaran bilamana kamu dipukul pipi kiri berikanlah pipi kanan dalam artian kekerasan jangan dibalas dengan kekerasan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa agama yang mengandung kekerasan adalah agama manusia bukan agama Allah. Bagi umat Kristen, ajaran kesaksian dan keteladanan Yesus merupakan hal yang sentral di dalam menilai persektif-persektif lain. Warisan-warisan ambigu Alkitab yang mendukung kekerasan menyita perhatian khusus para penafsir Kristen dewasa kini untuk menyadari tragedi-tragedi historis yang telah mengalir dari polemik dan peperangan Alkitabiah serta mengaku bahwa didalamnya juga terlihat adanya tradisi untuk menciptakan perdamaian tanpa kekerasan.
Dari kitab Al-jihad wa kitab Al-jizwa wa ahkam Al-Muhabirin, Tabari menyajikan bahwa kepada para pembacanya suatu pandangan yang jarang tentang hubungan sejarah karya-karya Allah dengan kekuasaan. Ketentuan-ketentuan hukum yang secara teliti disebut berdasarkan pendapat para ahli hukum Islam yang utama, memberikan pembenaran agama untuk terlibat di dalam permusuhan untuk melawan orang-orang yang hidup dalam wilayah perang yakni orang-orang yang belum menerima Islam. Mereka lebih mencerminkan kepercayaan agama, nafsu, harapan dan kekuatan dalam berhadapan dengan kaum Non-Muslim. Bagian itu dimulai dengan kutipan dua ayat berikut yang berfungsi sebagai pembuka diskusi tentang jihad oleh berbagai ahli hukum. Meskipun tidak disinggung secara jelas tentang jihad kepada mereka yang tidak mengaku Islam dalam ayat tersebut. Tetapi secara nyata Al-Tabari menyebutkan ayat tersebut sebagai rasionalisasi terhadap expansionisme territorial kekuasaan politik kaum Muslim. Diperhadapkan pada kejahatan besar abad ke-20 banyak pemikir religious yang telah mengakui bahwa tidak ada pemecahan yang teoritis dan konseptual atas permasalahan kekerasan masa kini. Kejahatan besar adalah sesuatu yang tidak terukur, yang menolak kekerasan. Di dalam membangun kedamaian, memerangi kemiskinan dan kesengsaraan, menghargai kebebasan dan HAM bukanlah hanya tuntutan moral semata tetapi juga merupakan prioritas nasional yang bijak. Unsur-unsur tersebut dapat menciptakan dunia lebih aman, lebih selamat dan memungkinkan menjadi rumah bagi semua umat manusia dengan keyakinan bahwa kepentingan masyarakat internasional dan nasional adalah kebaikan bersama dalam skopus global adalah saling tergantung dan tidak dapat dipisahkan.
Setelah manusia jatuh ke dalam dosa dan menjadi kacau maka Allah menjanjikan akan memberikan damai sejahtera melalui Mesias yang dijanjikan-Nya yaitu Raja Damai (Yes. 9:5), Tunas Keadilan (Yer. 33:15), Seorang Pemimpin yang akan lahir di Betlehem (Mik. 5:1) dan seorang Raja yang adil dan jaya (Zak. 9:90). Damai sejahtera di antara manusia adalah sebagian dari tujuan pengorbanan Kristus (Ef. 2) dan di dalam Al-Qu’ran juga tercermin bahwa tujuan Muhammad SAW diutus adalah untuk menjadi rahmat bagi sebagian alam (Al-Anbia’ 107) ini berarti bahwa kehadiran Islam bukan hanya ditujukan kepada satu umat melainkan ditujukan kepada semua makhluk ciptaan tanpa terkecuali. Ajaran Islam selalu bercita-cita untuk membawa kebaikan dan kedamaian bersama, Islam tidak menyukai kekerasan, tertulis di dalam Ali Imran 159 “maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka sekiranya kamu bersikap keras, lagi berhati kasar, tuntunlah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu karena itu maafkanlah mereka mohonkanlah ampun bagi mereka bermusyawaralah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad maka bertawakallah kepada Allah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya ”. Maka jelaslah jejak nabi Muhammad harus diikuti oleh umat Islam didalam bermasyarakat didunia ini. Agama berperan penting di dalam menciptakan masyarakat yang damai. Perdamaian yang diartikan adalah sebagai tidak adanya atau berkurangnya segala jenis kekerasan dan juga transformasi, konflik kreatif non kekerasan, sehingga kerja perdamaian ialah upaya mengatasi kekerasan dengan cara damai. Agama menjadi sebuah komitmen terdalam bagi manusia untuk mencapai harmoni dan perdamaian untuk manusia serta peranan agama bukanlah terutama melestarikan nilai-nilai tradisional tetapi berperan sebagi kekuatan transformatif sehingga mampu berperan melakukan rekonstruksi sosial menuju kepada pembangunan sosial bagi umat manusia yang berkeadilan dan beradab.
Tidak akan ada kekerasan lebih dahulu maka tak mungkin ada perdamaian dibelakang, maka untuk menikmati kedamaian manusia harus terlebih dahulu harus melalui masa penderitaan dan kekerasan. Penderitaan, kekerasan bukan sembarang bayangan seperti dalam film tetapi penderitaan yang real, yang menyiksa, cacat bahkan terbunuh. Di Indonesia sejak tahun 1990, terlihat bahwa agama dengan tegas dan kuat akan dipolitisasi dalam tongkat untuk memukul semua lawan, yang artinya agama harus dibebaskan dari kutuk yang mengecapnya sebagai kawan dari penguasa, dan sumber serta pembenaran dari kekerasan maka sebaiknya agama selalu berada ditangan yang kelihatan, yang lemah lembut, tetapi memiliki perasaan yang kuat, serta tegak dalam hal kebenaran, keadilan terhadap rakyat.
III. Kesimpulan
Dari berbagai selisih paham antar anarkis dalam mendefinisikan suatu ide kekerasan sebagai sebuah metode, kekerasan tetaplah bukan merupakan suatu ide eksklusif milik anarkisme, sehingga anarkisme tidak bisa dikonotasikan sebagai kekerasan, seperti makna tentang anarkisme yang banyak dikutip oleh berbagai media di Indonesia yang berarti sebagai sebuah aksi kekerasan. Karena bagaimanapun kekerasan merupakan suatu pola tingkah laku alamiah manusia yang bisa dilakukan oleh siapa saja dari kalangan apapun. Jadi usaha apapun untuk menegaskan bahwa anarki adalah anti negaras belaka merupakan suatu kesalahan dalam memahami kata dan cara yang digunakan oleh gerakan anarkis. Anarkis selalu melawan semua bentuk kekuasaan dan eksploitasi, serta mengkritik kapitalisme dan agama seperti halnya terhadap negara”. Dan, hanya untuk memperjelas, anarki tidak berarti chaos ataupun suatu usaha yang dilakukan kaum anarkis untuk menciptakan kekacauan atau ketidak tertiban. Malah, kami ingin menciptakan suatu masyarakat yang berdasarkan kebebasan individu dan kooperasi sukarela. Dengan kata lain, tatanan dari bawah ke atas, bukan ketidaktertiban yang muncul dari atas ke bawah karena kekuasaa. Artinya esensi teori ini adalah pembebasan atau anti penindasan.
IV. Daftar Pustaka
Berkman, Alexander, What is Communist Anarchist, Free Press: Maxmillan Publish, 1971
Ehrlich, Howard, Reinventing Anarchy, Canada, 1979
Enginer, Asqar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000
Fukuyam, Francis, Guncangan Besar Kodrat Manusia dan Tata Sosial Baru, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005
Hanafi, Hassan, Islamologi, Dari Teologi Statis Ke Anarkis, Yogyakarta: PT.LKiS Pelangi Aksara, 2004
Harahap, Akhmad Rivai, Ensiklopedi Praktis Kerukunan Umat Beragama, Medan: Perdana Publishing, 2012
Lefebure, Leo D., Pernyataan Allah, Agama dan Kekerasan, Jakarta: BPK-GM, 2003
Liere, Lucien van, Memutus Rantai Kekerasan, Jakarta: BPK-GM, 2010
Marpaung, Herwen Jona, Merajut Kerukunan Menuai Kedamaian, Siantar: CV. Sinarta, 2014
Muhammad, A.S: Hikam, Islam Demokratisasi dan Pemberdayaan Civil Society, Jakarta: Erlangga, 2004
Munandar, U.P. Ananda Aris, Moralitas Pembangunan, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989
Riyanto, Armada, Dialog Agama Dalam Pandangan Gereja Katolik, Yogyakarta: Kanisius, 1995
Riyanto, Armada, Dialog Interreligious, Yogyakarta: Kanisius, 2010
Schuman, Olaf H., Agama-agama: Kekerasan dan Perdamaian, Jakarta: BPK-GM, 2011
Sitompul, Einer M., Agama-agama, Kekerasan dan Perdamaian, (Bidang Marturia Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, 2005
Smith, Huston, Agama-agama Manusia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001
Sumartana, Th., “Kemanusiaan Titik Temu Agama-agama” Dalam Martin L. Sinaga (ed), Agama Memasuki Milinium Ke-3, Jakarta: Grasindo, 2000
Syahnakri, Kiki, Aku Hanya Tentara, Jakarta: Kompas, 2008
Soetoprawiro,Koerniatmanto Bukan Kapitalisme Bukan Sosialisme: Memahami Keterlibatan Sosial Gereja, Yogyakarta:Kanisisus 2003
Thompson, J. Milburn, Keadilan dan Perdamaian, Tanggung Jawab Kristiani dalam Pembangunan Dunia, Jakarta: BPK-GM, 2009
Tucker, Benjamin, Instead Of A Book: By A Man Too Busy To Write One: A Fragmentary Eksposition Of Philosophical Anarchism, Bibliolife, 2015
Wardaya, Baskara T., Spiritualitas Pembebasan, Yogyakarta: Kanisius, 1995
Weji, P. A. Van Der, Filsuf-filsuf Besar Tentang Manusia, Yogyakarta: Kanisius, 2006
Winarto, Budi, Globalisasi: Peluang Atau Ancaman Bagi Indonesia, Jakarta: Erlangga, 2010
Zaman, Ali Neor, Agama dan Manusia, Jakarta: BPK-GM, 2011